Tags
Sebelum Hujan Jadi Kalender Basah
Sebelum hujan jadi kalender-kalender basah
di matamu kubayangkan pohon-pohon dan cuaca
saling berbagi rahasia
senja yang tak lagi belia
Aku pandangi dinding malam
dari jendela kaca
bersama seneon lampu kamar
ketika dingin mencuri
bintang-bintang di galaksi
dan di meja lembab
maut pun menulis puisi.
Barangkali kau akan berpikir
waktu sebenarnya
adalah apa yang membuat kita
menjadi lebih akrab
pada segala yang tak terduga.
Aku pernah bertanya ‘di manakah Tuhan berada’
ketika firman-firman suci diubah jadi senjata?
Namun segera aku jadi bosan
kepada mereka yang tertipu majelis-majelis
di abad ini. Sayang, kutulis puisi ini,
ketika kita mencintai kebenaran
dari segala kebetulan
yang justru acapkali membuat kita heran.
Kemarin, ketika gerimis
seperti kasidah para darwis, aku teringat
bagaimana kau membacakanku sekomposisi larik
tentang hidup yang jadi indah
karena selalu mempermainkan kita
dengan hasrat dan teka-teki
yang membuat kita marah atau bergairah
entah karena apa?
Dan di Desember yang kesekian kali ini,
barangkali, di esok nanti
kita akan lagi-lagi menulis puisi
dari keluguan atau gairah yang tak kita mengerti.
2015
Jazz & Kopi
Gerimis Desember datang lagi:
gerimis yang mendayung sepi
sampan-sampan hidup dalam diri.
Tak ada burung terbang
di atas pematang-pematang lengang.
Sepanjang angin berhembus
senja seperti seorang kekasih
yang merana. Hari dan waktu
kubayangkan seumpama
padang bunga-bunga.
Dapatkah seseorang menggambar
mautnya seperti jalanan basah
yang kulihat dari jendela.
Di dalam kamar, jarum-jarum jam
dan segelas kopi panas
seperti saling menafsir
cuaca dingin. Ingin kutulis lagi
puisi cinta yang kesekian
meski kata-kata telah lelah
dan kalimat tak selamanya
jadi amsal dan perumpamaan.
Kunikmati saja segelas kopi hitamku
bersama secanggung komposisi jazz
berharap hidup tak lagi seperti biasa.
2015
Kalender November
Di sini gerimis adalah puisi
dan lagu rindu di dalam hati.
Barangkali mendung
adalah lembab senja
yang menerka sepotong cahaya
di sepasang matamu.
Masih kukenang perbincangan malam kita
sembari meramal masa depan
dan menjumlah angka-angka.
Sungguh katakan padaku, Pran,
bagaimana aku harus jatuh cinta
pada sore dan lanskap cuaca
yang kau terjemahkan dalam sajak
dan jejak-jejak hujan
yang jadi melankolia
pada secangkir kopi hitam.
Mengapa nasib seperti pencuri
yang pandai bersembunyi?
Sungguh, di sini, Pran, kuumpamakan
jalanan basah dan sendu dedaunan
seperti sebuah hikayat
yang tak lagi punya amsal
bagi bisu berputarnya jarum-jarum jam.
2015
Sumber: Majalah Sastra Horison Juli 2016 (http://www.majalahhorison.com/puisi/37-puisi-puisi-sulaiman-djaya.html)